PENDAHULUAN
Dunia telah berubah. Dewasa ini kita hidup dalam era
informasi/global. Dalam era informasi, kecanggihan teknologi informasi dan
komunikasi telah memungkinkan terjadinya pertukaran informasi yang cepat tanpa
terhambat oleh batas ruang dan waktu (Dryden & Voss, 1999). Berbeda dengan
era agraris dan industri, kemajuan suatu bangsa dalam era informasi sangat
tergantung pada kemampuan masyarakatnya dalam memanfaatkan pengetahuan untuk
meningkatkan produktifitas. Karakteristik masyarakat seperti ini dikenal dengan
istilah masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Siapa
yang menguasai pengetahuan maka ia akan mampu bersaing dalam era global.
Oleh karena itu, setiap negara berlomba untuk
mengintegrasikan media, termasuk teknologi informasi dan komunikasi untuk semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegaranya untuk untuk membangun dan
membudayakan masyarakat berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era global.
Bimbingan dan Konseling sebagai suatu proses pemberian
bantuan kepada individu (siswa), dilaksanakan melalui berbagai macam layanan.
Layanan tersebut saat ini, pada saat jaman semakin berkembang, tidak hanya
dapat dilakukan dengan tatap muka secara langsung, tapi juga bisa dengan
memanfaatkan media atau teknologi informasi yang ada. Tujuannya adalah tetap
memberikan bimbingan dan konsling dengan cara-cara yang lebih
menarik,interaktif, dan tidak terbatas tempat, tetapi juga tetap memperhatikan
azas-azas dan kode etik dalam bimbingan dan konseling.
BIMBINGAN KONSELING
A. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan
merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung beberapa
makna. Sertzer & Stone (1966) menemukakan bahwa guidance berasal
kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan,
menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (1981)
mengemukakan bahwa guidance mempunyai hubungan dengan guiding : “
showing a way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting
(menuntun), giving instructions (memberikan petunjuk), regulating
(mengatur), governing (mengarahkan) dan giving advice (memberikan
nasehat).
Penggunaan
istilah bimbingan seperti dikemukakan di atas tampaknya proses bimbingan lebih
menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Hal ini tentu saja tidak sesuai
lagi dengan arah perkembangan dewasa ini, dimana pada saat ini klien lah yang
justru dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses
pengambilan keputusan serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan yang
diambilnya.
Untuk
memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di bawah ini dikemukakan
pendapat dari beberapa ahli :
v Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya,
1975) mengartikan bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk
mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri
secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.
v Peters
dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan bimbingan sebagai : the
process of helping the individual to understand himself and his world so that
he can utilize his potentialities.
v United
States Office of Education (Arifin,
2003) memberikan rumusan bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk
memberikan bantuan secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian
diri terhadap berbagai bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema
kependidikan, jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam pelaksanaannya,
bimbingan harus mengarahkan kegiatannya agar peserta didik mengetahui tentang
diri pribadinya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
v Jones
et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : “guidance is the help given
by one person to another in making choice and adjusment and in solving problem.
v I.
Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses
pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat
memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya
(self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self
direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization)
sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri
dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
v Dalam
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan
bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam
rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
v Prayitno,
dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan
untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan
berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan
belajar, dan bimbingan karier, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan
pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dari
beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih beragam dalam memberikan
pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat melihat adanya benang merah,
bahwa :
v Bimbingan
merupakan upaya untuk memberikan bantuan kepada individu atau peserta didik..
Bantuan dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis.
v Tercapainya
penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian merupakan tujuan yang
ingin dicapai dari bimbingan.
Dari
pendapat Prayitno, dkk. yang memberikan pengertian bimbingan disatukan dengan
konseling merupakan pengertian formal dan menggambarkan penyelenggaraan
bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan
nasional.
Keberadaan
layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani
melalui proses yang panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu. Selama
perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian istilah, semula disebut
Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada
Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2004 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling.
Akhir-akhir ini para ahli mulai meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski
secara formal istilah ini belum digunakan.
B. Orientasi Baru Bimbingan dan Konseling
Pada
masa sebelumnya (atau mungkin masa sekarang pun, dalam prakteknya masih
ditemukan) bahwa penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling cenderung bersifat klinis-therapeutis
atau menggunakan pendekatan kuratif, yakni hanya berupaya menangani
para peserta didik yang bermasalah saja. Padahal kenyataan di sekolah jumlah
peserta didik yang bermasalah atau berperilaku menyimpang mungkin hanya satu
atau dua orang saja. Dari 100 orang peserta didik paling banyak 5 hingga 10 (5%
– 10%). Selebihnya, peserta didik yang tidak memiliki masalah (90% -95%)
kerapkali tidak tersentuh oleh layanan bimbingan dan konseling. Akibatnya,
bimbingan dan konseling memiliki citra buruk dan sering dipersepsi keliru oleh
peserta didik, guru bahkan kepala sekolah. Ada anggapan bimbingan dan konseling
merupakan “polisi sekolah”, tempat menangkap, merazia, dan menghukum
para peserta didik yang melakukan tindakan indisipliner. Anggapan lain yang
keliru bahwa bimbingan dan konseling sebagai “keranjang sampah” tempat
untuk menampung semua masalah peserta didik, seperti peserta didik yang bolos,
terlambat SPP, berkelahi, bodoh, menentang guru dan sebagainya. Masalah-masalah
kecil seperti itu dapat diantisipasi dan diatasi oleh para guru mata pelajaran
atau wali kelas dan tidak perlu diselesaikan oleh guru pembimbing.
Mengingat
keadaan seperti itu, kiranya perlu adanya orientasi baru bimbingan dan
konseling yang bersifat pengembangan atau developmental dan pencegahan
pendekatan preventif. Dalam hal ini, Sofyan. S. Willis (2004)
mengemukakan landasan-landasan filosofis dari orientasi baru bimbingan dan
konseling, yaitu :
1.
Pedagogis; artinya menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan
peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual diantara peserta didik.
2.
Potensial, artinya setiap peserta didik adalah individu yang memiliki potensi
untuk dikembangkan, sedangkan kelemahannya secara berangsur-angsur akan
diatasinya sendiri.
3.
Humanistik-religius, artinya pendekatan terhadap peserta didik haruslah
manusiawi dengan landasan ketuhanan. peserta didik sebagai manusia dianggap
sanggup mengembangkan diri dan potensinya.
4.
Profesional, yaitu proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara
profesional atas dasar filosofis, teoritis, yang berpengetahuan dan
berketerampilan berbagi teknik bimbingan dan konseling.
Dengan
adanya orientasi baru ini, bukan berarti upaya-upaya bimbingan dan konseling
yang bersifat klinis ditiadakan, tetapi upaya pemberian layanan bimbingan dan
konseling lebih dikedepankan dan diutamakan yang bersifat pengembangan dan
pencegahan. Dengan demikian, kehadiran bimbingan dan konseling di sekolah akan
dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta didik, tidak hanya bagi peserta
didik yang bermasalah saja.
C. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Dengan
orientasi baru Bimbingan dan konseling terdapat beberapa fungsi yang
hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. yaitu:
1. Pemahaman;
menghasilkan pemahaman pihak-pihak tertentu untuk pengembangan dan pemacahan
masalah peserta didik meliputi : (a) pemahaman diri dan kondisi peserta didik,
orang tua, guru pembimbing; (2) lingkungan peserta didik termasuk di dalamnya
lingkungan sekolah; dan keluarga peserta didik dan orang tua; lingkungan yang
lebih luas, informasi pendidikan, jabatan/pekerjaan, dan sosial budaya/terutama
nilai-nilai oleh peserta didik.
2. Pencegahan; menghasilkan
tercegahnya atau terhindarnya peserta didik dari berbagai permasalahan yang
timbul dan menghambat proses perkembangannya.
3. Pengentasan; menghasilkan
terentaskannya atau teratasinya berbagai permasalahan yang dialami peserta
didik.
4. Advokasi; menghasilkan
kondisi pembelaaan terhadap pengingkaran atas hak-hak dan/atau kepentingan
pendidikan.
5. Pemeliharaan dan pengembangan;
terpelihara dan terkembangkannya berbagai potensi dan kondisi positif peserta
didik dalam rangka perkembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.
D. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling :
Sejumlah
prinsip mendasari gerak langkah penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan
konseling. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan tujuan, sasaran layanan, jenis
layanan dan kegiatan pendukung, serta berbagai aspek operasionalisasi pelayanan
bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan
dengan sasaran layanan; (a) melayani semua individu tanpa memandang usia, jenis
kelamin, suku, agama dan status sosial; (b) memperhatikan tahapan perkembangan;
(c) perhatian adanya perbedaan individu dalam layanan.
2. Prinsip-prinsip yang berkenaan
dengan permasalahan yang dialami individu; (a) menyangkut pengaruh kondisi
mental maupun fisik individu terhadap penyesuaian pengaruh lingkungan, baik di
rumah, sekolah dan masyarakat sekitar, (b) timbulnya masalah pada individu oleh
karena adanya kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.
3. Prinsip-prinsip yang berkenaan
dengan program pelayanan Bimbingan dan Konseling; (a) bimbingan dan konseling
bagian integral dari pendidikan dan pengembangan individu, sehingga program
bimbingan dan konseling diselaraskan dengan program pendidikan dan pengembangan
diri peserta didik; (b) program bimbingan dan konseling harus fleksibel dan
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan; (c) program
bimbingan dan konseling disusun dengan mempertimbangkan adanya tahap
perkembangan individu; (d) program pelayanan bimbingan dan konseling perlu
diadakan penilaian hasil layanan.
4. Prinsip-prinsip yang berkenaan
dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan; (a) diarahkan untuk pengembangan
individu yang akhirnya mampu secara mandiri membimbing diri sendiri; (b)
pengambilan keputusan yang diambil oleh klien hendaknya atas kemauan diri
sendiri; (c) permaslahan individu dilayani oleh tenaga ahli/profesional yang
relevan dengan permasalahan individu; (d) perlu adanya kerja sama dengan
personil sekolah dan orang tua dan bila perlu dengan pihak lain yang
berkewenangan dengan permasalahan individu; dan (e) proses pelayanan bimbingan
dan konseling melibatkan individu yang telah memperoleh hasil pengukuran dan
penilaian layanan.
E. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Penyelenggaraan
layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain dimuati oleh
fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk
memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan
memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan,
sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan
pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan bimbingan
dan konseling itu sendiri.
Betapa
pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa
dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila
asas-asas ini tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan
konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama sekali.
Asas-
asas bimbingan dan konseling tersebut adalah :
1. Asas Kerahasiaan
(confidential); yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan
keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau
keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal
ini, guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data
dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,
2. Asas Kesukarelaan; yaitu
asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien)
mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru
Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan
seperti itu.
3. Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar
peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka
dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya
sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang
berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban
mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau
terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak
berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas
kerahasiaan dan dan kekarelaan.
4. Asas
Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang
menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam
penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong
dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan
yang diberikan kepadanya.
5. Asas
Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan
konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri,
dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil
keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing
(konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling
bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
6. Asas
Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan
dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam
kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai
dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik
(klien) pada saat sekarang.
7. Asas
Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran
layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton,
dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap
perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas
Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak
lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan
koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling
menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
9. Asas
Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum,
peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang
berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam
memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10. Asas
Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal
ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya
hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling.
Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam
penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan
dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas
Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak
mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas
atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan
kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih
tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula,
sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-tangankan kasus kepada
pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di
luar sekolah.
12. Asas Tut
Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan
konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan
rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan,
serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.